Laman

Jumat, 28 Juni 2013

Pembahasan RUU Desa Molor Mengundang Gerakan Politik Masyarakat Sipil

Semiloka RuuDesa 01 
Proses perumusan RUU Desa yang molor selama kurang lebih lima tahun, mengundang keprihatinan sejumlah elemen masyarakat sipil dan perguruan tinggi. IRE Yogyakarta, PSPK UGM, STPMD “APMD”, Rumah Aspirasi Budiman dan Parade Nusantara terpanggil untuk melakukan gebrakan politik dengan melancarkan hajatan Semiloka Nasional bertemakan Gerakan Memperjuangkan UU Desa. Semiloka tersebut dirancang sebagai gerakan politik masyarakat sipil yang bertujuan untuk mendorong para politisi dan pemangku kebijakan nasional bersungguh-sungguh memikirkan dan memperjuangkan nasib desa yang selama ini tak kunjung jelas terjamin dalam regulasi nasional
       Tepuk tangan menggemuruh saat Prof. Susetiawan tampil sebagai Key Note Speaker Semiloka Nasional Gerakan Memperjuangkan UU Desa 23 Desember lalu. Tepuk tangan dari ratusan orang tersebut, bukan sekedar karena orang yang berdiri di atas podium, seseorang akademisi bertitel profesor, tapi karena lontaran wacana, kritik dan gagasanya atas nasib desa yang selama ini selalu termarginalkan. Mengawali orasinya, Prof. Susetiawan melontarkan pandangan bahwa sebelum ada kerajaan, negara dan republik, desa sudah ada dulu. Desa mempunyai sistem sumber alam yang saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu, tambahnya, aslinya desa sudah otonom. Desa punya hak untuk mengelola, mengatur, sumber yang ada didalamnya. Oleh sebab itu ketika desa itu terintegrasikan ke dalam sebuah bangunan besar negara yang besar, otonomi desa yang semula ada, tiba-tiba lenyap. Pengintegrasian desa ke dalam wilayah yang besar tersebut, desa lalu mendapat posisi sebagai pinggiran. Pusat melakukan sentralisasi atas nama kepentingan nasional. Lalu, yang terjadi adalah tidak hanya sentralisasi tapi pengambilalihan hak-hak dan model pengaturan asli desa, demi kepentingan stabilitas nasional. Pertanyaan besarnya, “usaha untuk mengintegrasian desa ke wilayah nasional ini, untuk kepentingan nasional, ketahanan nasional atau menjadi satu bagian yang dikonstruksikan oleh pasar?”. 
Saat ini desa menjadi pasar barang-barang industri dari luar. Dan itu berarti kita tidak punya kedaulatan. Prof. Susetiawan mencotohkan sejarah revolusi hijau yang hingga kini dampak negatifnya masih dirasakan, terutama oleh orang-orang desa. Masih dengan intonasi berapi-api, Susetiawan melanjutkan orasinya “lihat saja revolusi hijau, benar ada peningkatan produksi padi, tapi belum tentu diikuti kenaikan pendapatan penduduk”. “Belum lagi kerusakan lingkungan yang membutuhkan lama untuk memuliakanya kembali”. Desa sesungguhnya punya teknologi sendiri untuk mengembangkan semua yang ada, tapi revolusi melenyapkanya. Baginya, inilah titik awal kedaulatan desa hilang, ketika revolusi hijau memaksa desa menggunakan resepnya yang katanya untuk menaikkan kesejahteraan desa. 
Tesis desa tidak berdaulat harus dirubah, tegas Susetiawan. Desa menjadi ciri utama pertumbuhan dan perkembangan ekonomi nasional, bukan sebaliknya. Lokal yang kuat, menurutnya, akan terakumulasi dan menjadikan nasional yang kuat. Disinilah, dalam pandangan Prof. Susetiawan Undang-Undangan Desa perubahan atas UU no. 32 tahun 2004, yang sampai saat ini belum masuk ke dapur legislative harus menjamin, melindungi hak desa untuk berdaulat untuk mengatur dirinya sendiri serta mengakui desa sebagai pusatnya kekuatan nasional. Sekali lagi dia menegaskan, “kalau lokal dianggap sama dengan desa, maka UU Desa menjadi kunci untuk memberikan kewenangan pada desa”. UU Desa harus menjadi paying hukum yang mengatur seluruh sistem kehidupan desa. Pemerintahan, adalah salah satu unsure saja yang juga perlu diatur. Tapi, dalam pandangan hemat sang professor, UU Desa harus mengatur sekaligus memberi ruang bagi warga desa untuk mengelola dan mengembangkan sumber daya alam yang mereka miliki, seperti energy tambang, karena desa mempunyai hak mengelola dan menikmati kekayaan alam. Pada titik inilah, tambahnya, “siapapun yang masuk desa harus melalui pintu UU payung. Oleh karena itu tidak ada artinya kita membuat UU yang banyak dan tidak ada artinya kalau UU itu dimunculkan hanya sebagai barang dagangan”. 
Usai orasi ilmiah, tepuk tangan yang sebelumnya membahana, sejenak diam saat group paduan suara ATPMD “APMD” yang berseragam jas biru tampil ke atas panggung menyanyikan dua buah lagu yang berjudul “Desaku” dan “Berita Cuaca” ciptaan Gombloh. Dua lagu tersebut seolah-olah membawa rasa dan imaginasi ratusan peserta Semiloka Nasional ke dalam dimensi desa ruang dan waktu yang penuh dengan atmosfer kebersahajaan, kedamaian sekaligus keterancaman desa karena laju pembangunan sebagaimana ditanyakan Gombloh “mengapa tanahku rawan kini, bukit-bukitpun telanjang berdiri, pohon dan rumput-rumput enggan bersemi kembali dan burung-burung pun malu bernyanyi”. 
Ternyata, pesan dan nilai yang menyeruak dari orasi ilmiah ditambah serangkaian lagu bergenre desa tersebut cukup memompa semangat peserta Semiloka untuk mengikuti sesi diskusi panel. Sedikitnya 400 peserta yang memadati Auditorium Ganesha STPMD “APMD” semakin semangat dan nampak kian bertambah saat diskusi panel berlangsung. Hadir berkesempatan sebagai nara sumber Semiloka Nasional hasil racikan kerjasama IRE Yogyakarta bekerjasama dengan PSPK UGM, STPMD “APMD”, Rumah Aspirasi Budiman, dan Parade Nusantara yaitu Sutoro Eko Yunanto, Tim Ahli RUU Desa, Arie Sujito, Direktur IRE sekaligus aktivis advokasi RUU Desa, Sudir Santoso, ketua Presidium Parade Nusantara dan Budiman Sujatmiko, anggota Komisi II DPR RI yang membawahi pembahasan RUU Desa. 
Diskusi panel yang dipandu Widyohari, dosen STPMD “APMD”, berjalan cukup seru. Beberapa kali peserta bertepuk tangan sebagai tanda apresiasi mereka atas statemen kritis dari para nara sumber terhadap RUU Desa yang molor bertahun-tahun. “Indonesia saya ibaratkan sebuah perusahaan bernama Nusantara, rakyat adalah pemegang sahamnya”, Sudir mengawali pembicaraanya. “Sebagai pemegang saham, seharusnya rakyat desa mendapatkan deviden yang sepadan. Namun, faktanya tidak demikian, pembagian dana tidak proporsional sehingga rakyat desa bergelut dengan kemiskinan”, tegas Sudir memperkuat statemen awalnya. Kemiskinan yang diderita masyarakat desa, Sudir meyakini karena Negara salah urus. Sebagaimana diilustrasikan dalam mekalahnya, Sudir mengatakan bahwa “pemerintah pusat pada masa orde baru merasa terancam dengan desa sebagai wilayah politik yang dinamis, tempat pertarungan riil dari kepentingan ekonomi secara riil oleh kaum tani/buruh tani, serta pertarungan demokrasi oleh partai-partai politik. Lalu mereka berimajinasi bahwa stabilitas ekonomi dan politik versi orde baru hanya dapat dilakukan jika Desa berhasil ditundukkan. Maka keluarlah UU No 5 Tahun 1979 tentang Desa, yang sesungguhnya berisi kontrol negara sepenuhnya kepada Desa. Desa ada di dalam genggaman Camat dan juga Bupati. Partai-partai menyingkir dari Desa, kecuali tentu saja Golkar, lalu diperkuat dengan Babinsa. Semua aktivitas di Desa berada sepenuhnya di tangan supra desa tersebut. Urusan pertanian yang menjadi aktivitas sehari-hari masyarakat desa dikontrol, benih yang akan ditanam, pupuk yang digunakan semua dikontrol oleh aparatur negara dengan segala jenisnya. Bahkan urusan reproduksi masyarakat desa pun menjadi urusan  ‘negara’ misalnya dalam program KB”.
Demikian pada era tahun 1998, dimana agenda reformasi bergulir. Pria asal Sukolilo Pati ini, meneguhkan kembali bahwa posisi desa juga tak kunjung baik, masih termarginalkan. Gagasan demokratisasi sebagaimana tercantum dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang bertujuan untuk mengembalikan kepasitas politik rakyat desa dan mendorong pemerataan distribusi sumber-sumber ekonomi desa kepada masyarakat agar tak mengumpulkan pada segolongan kecil di desa, tak mampu bertahan lama. UU No. 32 Tahun 2004, malah meresentralisasi peran otonomi desa yang sebelumnya dijamin pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah tersebut. “Negara”, menurut Sudir, “rupanya masih mau mencuri kembali kekuasaan di desa, dengan menyisipkan pasal mengenai Sekretaris Desa diangkat menjadi PNS, dengan harapan negara mengambil kontrol atas adminitrasi desa ketika Sekdes menjadi perpanjangan tangan birokrasi”. “Apa yang terjadi kemudian?” tanya Sudir. Pasal ini memancing prahara lebih besar di desa. Kini beramai-ramai perangkat desa lainnya menginginkan menjadi PNS. Harapannya tidak lain dan tidak bukan adalah jaminan kesejahteraan bagi perangkat desa. Berbagai keributan yang terjadi di desa, Sudir menyimpulkan karena ulah imaginasi para aktor atau pihak-pihak diluar desa.
Ada beberapa kapasitas desa yang hilang selama 32 tahun pada masa Orde baru dan 10 tahun paska reformasi. Pertama, rakyat desa kehilangan kapasitas politiknya. Ketika selama 32 tahun lebih segala organisasi yang ada di desa baik pemuda, organisasi tani, bahkan organsiasi ibu-ibu adalah bentukan negara, yang segala aktivitas organisasi wajib dilaporkan kepada negara. Kedua, aparatur Desa (pemerintah desa) kehilangan kemampuannya di dalam menyelenggarakan pembangunan di desanya sendiri. Semua pembangunan infrastruktur diselenggarakan oleh pemerintah, dulu ketika Orba tentu dengan bantuan ABRI, kini pembangunan infrastruktur diserahkan kepada pelaksana proyek yang memenangkan tender pembangunan infrastruktur. Ketiga, desa (pemerintah desa) kehilangan kemampuannya mengurus tata produksi desa. dicontohkanya, bila dulu di setiap perdesaan Jawa, ulu-ulu memegang peranan besar mengatur pengairan bagi pertanian warga, kini tidak lagi. Kalau dulu di hampir setiap desa terdapat lumbung desa yang berfungsi menjaga stabilitas harga produk pertanian dan sebagai cadangan kebutuhan desa, kenyataannya sudah sangat lama lumbung desa menghilang, harga produk tak dapat dikontrol dan terus-menerus jatuh apabila mudim panen, desa-desa kelaparan selama musim-musim buruk  yang menyebabkan gagal panen.  

Jawaban terhadap problem mendasar yang dihadapi desa, menurut Sudir tidak lain adalah mendorong UU Desa yang tidak hanya mengatur desa secara homogeny yang cenderung mengeneralisir persoalan dan potensi desa yang ada, tapi meniadakan pluralitas didalamnya. Sudir mengakui, untuk mendorong lahir UU Desa, Parade Nusantara tidak bisa sendiri. Selama Sembilan tahun parade Nusantara menjelma sebagai parlemen jalanan bak banteng terluka. Diakhir presentasinya, Sudir mengatakan bahwa tindakan atau aksi parlemen jalanan yang diperankan Parade Nusantara bukan sekedar mobilisasi masa, melainkan masa aksi sadar yang bertindak dan berbuat dengan kesadaran partisipasi membangun bangsa. 
Seperti menanggapi lontaran kritis Sudir Santoso terhadap berbagai produk hukum yang mengatur desa, Sutoro Eko Yunanto mempresentasikan beberapa substansi yang berkaitan dengan RUU Desa pengganti UU No. 32 Tahun 2004. Pertama, definisi dan kedudukan desa. Dalam RUU Desa yang hingga saat ini belum juga dibahas, kedudukan desa bersifat hybrid yang berarti mengandung self governing community, local state government dan local self government. Kedudukan seperti ini menempatkan desa dalam subsistem kabupaten atau kota dimana pemerintah kabupaten/kota menerima untuk mengatur dan mengurus desa. Kedua,  kewenangan desa. RUU Desa mengatur soal kewenangan yang sudah ada berdasar hak asal usul desa, kewenangan lokal berskala desa yang diakui kabupaten/kota, kewenangan kabupaten/lota yang dilimpahkan pengaturan dan pelaksanaanya kepada desa, serta kewenangan lainya yang oleh pertaturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Ketiga, masa jabatan kepala desa. Masa jabatan kepala desa dalam RUU desa sekarang ini diperpanjang menjadi 8 tahun dari sebelumnya yang hanya 6 tahun dan masih dapat dipilih kembali satu kali masa jabatan berikutnya. Demikian pula untuk masa jabatan BPD juga mengikuti masa jabatan kepala desa yang dipilih dari wakil penduduk berdasarkan keterwakilan wilayah bersangkutan. RUU Desa melarang kepala desa merangkap jabatan sebagai ketua/anggota BPD, lembaga kemasyarakatan di desa atau anggota DPRD serta jabatan lain yang melanggar aturan perundang-undangan. Dan yang terakhir kepala desa tidak boleh menjadi pengurus partai politik atau partai politik lokal. Keempat, kedudukan keuangan. Kepala desa dan perangkat desa dijanjikan akan menerima penghasilan tetap yang bersumber pada APBD dan tunjangan penghasilan lain yang bersumber APBDes. 
Point penting yang diatur dalam RUU Desa berikutnya yaitu soal pembangunan perdesaan. Secara definisi, pembanguan perdesaan adalah perpaduan pembangunan antardesa dalam satu kawasan yang mencakup pembangunan sumber daya manusia, sumber daya alam dan infrastruktur yang bertujuan mempercepat pembangunan desa, kesejahteraan masyarakat, pengembangan kapasitas sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam dan pembangunan infrastruktur desa. Untuk mewujudkan tujuan pembangunan perdesaan tersebut, RUU Desa mengatur pula agar pemerintah menetapkan pedoman dan petunjuk teknis pembangunan kawasan perdesaan. Demikian pula dengan gubernur harus melakukan pembinaan dan sosialisasi kepada kabupaten/kota di wilayahnya dalam rangka pembangunan perdesaan. Sementara untuk walikota/bupati melakukan pendataan dan identifikasi terhadap desa-desa yang dapat ditetapkan sebagai suatu kawasan pembangunan perdesaan. Yang tak kalah penting lainya adalah soal pengaturan keuangan desa. Sumber keuangan desa menurut RUU Desa terdiri dari; a) pendapatan asli Desa terdiri dari hasil usaha Desa, hasil kekayaan Desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa yang sah, b) pendapatan Desa yang berasal dari urusan lokal Desa; c) bagi hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota diberikan untuk Desa sekurang-kurangnya 10 % (sepuluh per seratus); d) bagian dari dana perimbangan keuangan yang diterima oleh Kabupaten/kota sekurang-kurangnya 10% (sepuluh per seratus) untuk Desa dan disebut Alokasi Dana Desa; e) alokasi anggaran untuk Desa sekurang-kurangnya 5% (lima per seratus) dari total APBN dalam rangka pembangunan Desa dan kawasan perdesaan; f) bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/kota dalam rangka pelimpahan dan percepatan penyelenggaraan pembangunan perdesaan; g) hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Masih pada bagian yang sama, pemerintah berkewajiban menyerahkan bagi hasil pajak dan retribusi serta ADD kepada desa. Jika tidak dijalankan, pemerintah wajib mengembalikan dana yang dimaksud kepada kas desa sesuai dengan perundang-undangan berlaku.
Berbeda dengan Sutoro, Arie Sujito sosiolog UGM sekaligus Direktur IRE menyoroti peran masyarakat sipil dalam upaya penguatan kapasitas  dan kedaulatan desa. Pemberdayaan masyarakat desa paska reformasi ditandai dengan lahirnya UU 22/1999 dan UU 32/2004. Salah satu kemajuan yang telah dicapai regulasi tersebut yaitu penguatan institusi desa, perombakan tata pemerintahan desa, ADD, tumbuhnya lembaga ekonomi rakyat dalam perencanaan pembangunan dan kebangkitan pendidikan politik desa. Akan tetapi kemajuan ini, menurut bung Arie demikian biasa dipanggil, kemajuan-kemajuan tersebut masih tersandera. Kedaulatan desa masih dihegemoni oleh pihak supra desa, perencanaan pembangunan desa hanya sekedar pelengkap adiministrasi desa, kemiskinan dan kesenjangan sosial masih banyak, ekonomi desa semakin terancam oleh kebijakan dan lembaga ekonomi berhaluan neoliberal. Selain itu, juga tersandera oleh birokrasi daerah yang bebal, sehingga menghambat ruang negosiasi desa atas kebijakan lokal. “Akhirnya, demokrasi desa juga terganggu oleh ulah politisi pemerintahan dan watak transaksional mereka”, tambahnya. 
Abad liberal saat ini menurut Arie Sujito, belum memberikan hasil konkrit meskipun telah membuka ruang politik. Untuk itu, dengan nada berapi-api, Arie yang dulu pernah menjadi oratur ulung saat aktif dalam gerakan mahasiswa, memprovokasi peserta untuk bersuara lantang membela desa, memanfaatkan momentum pembahasan RUU Desa. Beberapa titik bidikan yang perlu diperjuangkan menurut Sujito yaitu memperjelas kedudukan dan kewenangan desa dengan orientasi demokrasi lokal dan kesejahteraan rakyat, menghargai keragaman (pluralism) desa dengan mendisain tata pemerintahan desa yang kontekstual dengan kebutuhan lokalitas, mereformasi perencanaan dan penganggaran desa dengan arah kemandirian, alokasi budget dan kelola sumber daya alam, ekonomi dan keuangan yang adil menuju kesejahteraan, memperkuat demokrasi lokal, melembagakan partisipasi warga, control atas jalanya pemerintahan, transparansi birokrasi serta akuntabilitas kekuasaan. Yang terakhir RUU Desa harus menuju pembangunan berkelanjutan dengan sendi-sendi demokrasi yang bermakna buat warga. 

Agar perjuangan kita mendorong lahirnya UU Desa yang paripurna, kita menyatukan energy antarpihak. “Namun sayangnya, energy kita saat ini fragmented”, imbuh Arie. Untuk itu Arie menyodorkan ide, gerakan Parade Nusantara juga harus ditopang oleh Perguruan Tinggi, LSM, Ormas, bahkan Partai Politik. Pada saat era UU 22/99, kita sudah pernah melakukan koalisi besar, tapi rapuh karena gagal menjebol tembok teknokratisme pemerintah. STPMD, UGM, punya kepedulian untuk itu. LSM juga ormas memiliki kekuatan dan kepedualian, tegasnya. Partai Politik masih sedikit yang memperhatikan nasib desa. Untuk itu komitmen bung Budiman yang sejak awal pencalonanya dulu sebagai anggota DPR RI telah berkomitmen hendak memperjuangkan kesejahteraan desa perlu kita dukung, ajak Arie Sujito. Apa gunanya, kalau kita memiliki wakil rakyat tapi saat berkomitmen tidak kita tagih janji politiknya. Struktur kesempatan seperti saat ini dimana Budiman berada dalam sistem, sebagai salah satu komisi yang membidani RUU Desa, harus kita manfaatkan untuk melahirkan UU Desa yang berpihak pada desa, tutup Arie mengakhiri presentasinya. 
Budiman Sujatmiko, anggota komisi II DPR RI yang juga mantan aktivis mahasiswa era 98, mengawali pembicaraanya mengapresiasi semiloka nasional. Pasalnya, menurutnya kondisi yang energik untuk membahas RUU Desa boleh jadi malah tidak ditemukan di gedung parlemen. Tidak hanya di kalangan eksekutif saja pertentangan tentang substansi RUU Desa muncul, di kalangan partai pun masih ada yang enggan membahas RUU Desa, imbuh pria yang identik dengan kacamatanya. Karenanya, bagi Budiman kehadiran ratusan peserta dari berbagai kalangan seperti kades dan perangkat desa, akademisi, aktivis NGO lokal dan internasional serta kalangan birokrasi pemerintah kabupaten se-Indonesia tersebut, memberikan suntikan energy tersendiri baginya untuk memperjuangkan RUU Desa yang pro terhadap nasib dan kesejahteraan desa. Dalam strategi politik, tugas konstituen adalah melakukan perdebatan wacana RUU Desa secara benar, lalu, tugasnya sebagai anggota parlemen kemudian adalah memperjuangkanya dari dalam parlemen. Menurutnya, sebagai policy makers adalah mengetahui logika lawan secara jitu lebih penting, dari pada berdebat secara kencang soal substansi. Budiman mengilustrasikan pengalamanya mengawal UU Penanaman Modal. Kalangan yang pro aktiv melakukan lobi-lobi politik kuat, yang akhirnya mengalahkan suara kelompok yang anti UU Penanaman Modal.
Contoh lain, juga terlihat betapa politisi malah lebih senang menggelindingkan isu RUU Kesitimewaan Yogyakarta daripada RUU Desa. “Disinilah menurut Budiman kerjasama antar pihak yang pro UU Desa menjalankan taktik dan strategi yang cukup cantik sebagaimana dikatakan bung Jito tadi”, tandas Budiman.  
  
Hujan pertanyaan dan sanggahanpun ramai saat moderator membuka termin pertanyaan. Kritik tajam datang dari Yando Zakaria. “saya ingin sampaikan kepada Budiman” Yando mengawali kritiknya. “kalaulah RUU Desa sebagaimana dipaparkan Sutoro Eko diperjuangkan, kita tidak lebih buruk dari keledai. Keledai tidak mau terjerumus ke dalam lobang yang sama”, tanda Yando. Belajar pada era orde baru yang memberlakukan UU No. 5 Tahun 1979, pemerintah telah melakukan penyeragaman.  Menurut Yando, ada tiga elemen penting yang harus diakomodir dalam UU Desa yaitu pengakuan kedaulatan desa, pemerintahan dan basis material desa. “Kalau mau mereform UU, harus mengakui sistem politik, ekonomi, dan budaya” tegasnya. Nada yang cukup sependapat dengan Yando muncul dari peserta yang berasal dari BPMPD Kutai Timur, Muhamad Hidayat. “Di Kutai Timur ada desa yang terbentuk dengan sendirinya ada pula yang dibentuk, karenanya UU Desa kelak tidak boleh menyamakannya”, kata pria berjas ini. Tapi di sisi lain, Hidayat juga pesimis dengan kemampuan pemerintah desa apabila diberikan kewenangan untuk mengelola uang milyaran rupiah, karena menurutnya kapasitas pemerintah desa, khususnya di Kutai Timur masih rendah. Joko Daryono, salah satu kepala desa dari Klaten, tidak setuju dengan rumusan dalam RUU Desa yang melarang kepala desa merangkap jabatan sebagai anggota partai politik. “mengapa pejabat setingkat desa tidak diperbolehkan, tapi pejabat-pejabat di kabupaten, propinsi maupun pusat bebas merangkap jabatan sebagai ketua partai. Ini tidak adil dan tidak demokratis”, keluhnya. 
Usai istirahat siang, agendapun dilanjutkan dengan  agenda serap aspirasi dan curah pendapat. Sesi yang dipandu Bambang Hudayana dan Fajar Sudarwo, bertujuan menghimpun masukan, ide, gagasan sebagai in put UU Desa yang akan dimandatkan kepada Budiman Sujatmiko untuk diperjuangkan di parlemen. Di akhir sesi diperoleh dua kesepahaman besar untuk memperjuangkan UU Desa, yakni substansi dan strategi. Pertama, UU Desa harus diletakan dalam konteks reformasi. Perubahan politik sudah terjadi, tapi dampaknya terhadap kesejahteraan desa belum nampak membaik. Kedua, kita perlu melihat desa sebagai satu kesatuan dengan sumber daya, karenanya UU Desa secar benar harus mengatur soal distribusi asset bagi desa seperti tambang, air dan hutan. Selanjutnya otonomi asimetris dianggap sebagai cara yang cocok untuk mengatur Indonesia, karena Indonesia bersifat plural, ada desa adat, desa desa pesisir, desa pegunungan dan lain-lain, papar AAGN yang didaulat sebagai pelipat sesi serap aspirasi dan curah gagasan sebelumnya. Diakhir acara, draft rekomendasi dari pesertapun dimandatkan kepada Budiman yang diserahkan oleh direktur IRE. Dan Budimanpun berjanji akan memperjuangkanya.
 _______________________________________________________________________________
Sumber: www.ireyogya.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar