Proses
perumusan RUU Desa yang molor selama kurang lebih lima tahun,
mengundang keprihatinan sejumlah elemen masyarakat sipil dan perguruan
tinggi. IRE Yogyakarta, PSPK UGM, STPMD “APMD”, Rumah Aspirasi Budiman
dan Parade Nusantara terpanggil untuk melakukan gebrakan politik dengan
melancarkan hajatan Semiloka Nasional bertemakan Gerakan Memperjuangkan
UU Desa. Semiloka tersebut dirancang sebagai gerakan politik masyarakat
sipil yang bertujuan untuk mendorong para politisi dan pemangku
kebijakan nasional bersungguh-sungguh memikirkan dan memperjuangkan
nasib desa yang selama ini tak kunjung jelas terjamin dalam regulasi
nasional
Tepuk
tangan menggemuruh saat Prof. Susetiawan tampil sebagai Key Note
Speaker Semiloka Nasional Gerakan Memperjuangkan UU Desa 23 Desember
lalu. Tepuk tangan dari ratusan orang tersebut, bukan sekedar karena
orang yang berdiri di atas podium, seseorang akademisi bertitel
profesor, tapi karena lontaran wacana, kritik dan gagasanya atas nasib
desa yang selama ini selalu termarginalkan. Mengawali orasinya, Prof.
Susetiawan melontarkan pandangan bahwa sebelum ada kerajaan, negara dan
republik, desa sudah ada dulu. Desa mempunyai sistem sumber alam yang
saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu, tambahnya, aslinya desa
sudah otonom. Desa punya hak untuk mengelola, mengatur, sumber yang ada
didalamnya. Oleh sebab itu ketika desa itu terintegrasikan ke dalam
sebuah bangunan besar negara yang besar, otonomi desa yang semula ada,
tiba-tiba lenyap. Pengintegrasian desa ke dalam wilayah yang besar
tersebut, desa lalu mendapat posisi sebagai pinggiran. Pusat melakukan
sentralisasi atas nama kepentingan nasional. Lalu, yang terjadi adalah
tidak hanya sentralisasi tapi pengambilalihan hak-hak dan model
pengaturan asli desa, demi kepentingan stabilitas nasional. Pertanyaan
besarnya, “usaha untuk mengintegrasian desa ke wilayah nasional ini,
untuk kepentingan nasional, ketahanan nasional atau menjadi satu bagian
yang dikonstruksikan oleh pasar?”.
Saat
ini desa menjadi pasar barang-barang industri dari luar. Dan itu
berarti kita tidak punya kedaulatan. Prof. Susetiawan mencotohkan
sejarah revolusi hijau yang hingga kini dampak negatifnya masih
dirasakan, terutama oleh orang-orang desa. Masih dengan intonasi
berapi-api, Susetiawan melanjutkan orasinya “lihat saja revolusi hijau,
benar ada peningkatan produksi padi, tapi belum tentu diikuti kenaikan
pendapatan penduduk”. “Belum lagi kerusakan lingkungan yang membutuhkan
lama untuk memuliakanya kembali”. Desa sesungguhnya punya teknologi
sendiri untuk mengembangkan semua yang ada, tapi revolusi melenyapkanya.
Baginya, inilah titik awal kedaulatan desa hilang, ketika revolusi
hijau memaksa desa menggunakan resepnya yang katanya untuk menaikkan
kesejahteraan desa.
Tesis
desa tidak berdaulat harus dirubah, tegas Susetiawan. Desa menjadi ciri
utama pertumbuhan dan perkembangan ekonomi nasional, bukan sebaliknya.
Lokal yang kuat, menurutnya, akan terakumulasi dan menjadikan nasional
yang kuat. Disinilah, dalam pandangan Prof. Susetiawan Undang-Undangan
Desa perubahan atas UU no. 32 tahun 2004, yang sampai saat ini belum
masuk ke dapur legislative harus menjamin, melindungi hak desa untuk
berdaulat untuk mengatur dirinya sendiri serta mengakui desa sebagai
pusatnya kekuatan nasional. Sekali lagi dia menegaskan, “kalau lokal
dianggap sama dengan desa, maka UU Desa menjadi kunci untuk memberikan
kewenangan pada desa”. UU Desa harus menjadi paying hukum yang mengatur
seluruh sistem kehidupan desa. Pemerintahan, adalah salah satu unsure
saja yang juga perlu diatur. Tapi, dalam pandangan hemat sang professor,
UU Desa harus mengatur sekaligus memberi ruang bagi warga desa untuk
mengelola dan mengembangkan sumber daya alam yang mereka miliki, seperti
energy tambang, karena desa mempunyai hak mengelola dan menikmati
kekayaan alam. Pada titik inilah, tambahnya, “siapapun yang masuk desa
harus melalui pintu UU payung. Oleh karena itu tidak ada artinya kita
membuat UU yang banyak dan tidak ada artinya kalau UU itu dimunculkan
hanya sebagai barang dagangan”.
Usai
orasi ilmiah, tepuk tangan yang sebelumnya membahana, sejenak diam saat
group paduan suara ATPMD “APMD” yang berseragam jas biru tampil ke atas
panggung menyanyikan dua buah lagu yang berjudul “Desaku” dan “Berita
Cuaca” ciptaan Gombloh. Dua lagu tersebut seolah-olah membawa rasa dan
imaginasi ratusan peserta Semiloka Nasional ke dalam dimensi desa ruang
dan waktu yang penuh dengan atmosfer kebersahajaan, kedamaian sekaligus
keterancaman desa karena laju pembangunan sebagaimana ditanyakan Gombloh
“mengapa tanahku rawan kini, bukit-bukitpun telanjang berdiri, pohon
dan rumput-rumput enggan bersemi kembali dan burung-burung pun malu
bernyanyi”.
Ternyata,
pesan dan nilai yang menyeruak dari orasi ilmiah ditambah serangkaian
lagu bergenre desa tersebut cukup memompa semangat peserta Semiloka
untuk mengikuti sesi diskusi panel. Sedikitnya 400 peserta yang memadati
Auditorium Ganesha STPMD “APMD” semakin semangat dan nampak kian
bertambah saat diskusi panel berlangsung. Hadir berkesempatan sebagai
nara sumber Semiloka Nasional hasil racikan kerjasama IRE Yogyakarta
bekerjasama dengan PSPK UGM, STPMD “APMD”, Rumah Aspirasi Budiman, dan
Parade Nusantara yaitu Sutoro Eko Yunanto, Tim Ahli RUU Desa, Arie
Sujito, Direktur IRE sekaligus aktivis advokasi RUU Desa, Sudir Santoso,
ketua Presidium Parade Nusantara dan Budiman Sujatmiko, anggota Komisi
II DPR RI yang membawahi pembahasan RUU Desa.
Diskusi
panel yang dipandu Widyohari, dosen STPMD “APMD”, berjalan cukup seru.
Beberapa kali peserta bertepuk tangan sebagai tanda apresiasi mereka
atas statemen kritis dari para nara sumber terhadap RUU Desa yang molor
bertahun-tahun. “Indonesia saya ibaratkan sebuah perusahaan bernama
Nusantara, rakyat adalah pemegang sahamnya”, Sudir mengawali
pembicaraanya. “Sebagai pemegang saham, seharusnya rakyat desa
mendapatkan deviden yang sepadan. Namun, faktanya tidak demikian,
pembagian dana tidak proporsional sehingga rakyat desa bergelut dengan
kemiskinan”, tegas Sudir memperkuat statemen awalnya. Kemiskinan yang
diderita masyarakat desa, Sudir meyakini karena Negara salah urus.
Sebagaimana diilustrasikan dalam mekalahnya, Sudir mengatakan bahwa
“pemerintah pusat pada masa orde baru merasa terancam dengan desa
sebagai wilayah politik yang dinamis, tempat pertarungan riil dari
kepentingan ekonomi secara riil oleh kaum tani/buruh tani, serta
pertarungan demokrasi oleh partai-partai politik. Lalu mereka
berimajinasi bahwa stabilitas ekonomi dan politik versi orde baru hanya
dapat dilakukan jika Desa berhasil ditundukkan. Maka keluarlah UU No 5
Tahun 1979 tentang Desa, yang sesungguhnya berisi kontrol negara
sepenuhnya kepada Desa. Desa ada di dalam genggaman Camat dan juga
Bupati. Partai-partai menyingkir dari Desa, kecuali tentu saja Golkar,
lalu diperkuat dengan Babinsa. Semua aktivitas di Desa berada sepenuhnya
di tangan supra desa tersebut. Urusan pertanian yang menjadi aktivitas
sehari-hari masyarakat desa dikontrol, benih yang akan ditanam, pupuk
yang digunakan semua dikontrol oleh aparatur negara dengan segala
jenisnya. Bahkan urusan reproduksi masyarakat desa pun menjadi urusan
‘negara’ misalnya dalam program KB”.
Demikian
pada era tahun 1998, dimana agenda reformasi bergulir. Pria asal
Sukolilo Pati ini, meneguhkan kembali bahwa posisi desa juga tak kunjung
baik, masih termarginalkan. Gagasan demokratisasi sebagaimana tercantum
dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang bertujuan untuk mengembalikan kepasitas
politik rakyat desa dan mendorong pemerataan distribusi sumber-sumber
ekonomi desa kepada masyarakat agar tak mengumpulkan pada segolongan
kecil di desa, tak mampu bertahan lama. UU No. 32 Tahun 2004, malah
meresentralisasi peran otonomi desa yang sebelumnya dijamin pada UU No.
22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah tersebut. “Negara”, menurut Sudir,
“rupanya masih mau mencuri kembali kekuasaan di desa, dengan menyisipkan
pasal mengenai Sekretaris Desa diangkat menjadi PNS, dengan harapan
negara mengambil kontrol atas adminitrasi desa ketika Sekdes menjadi
perpanjangan tangan birokrasi”. “Apa yang terjadi kemudian?” tanya
Sudir. Pasal ini memancing prahara lebih besar di desa. Kini
beramai-ramai perangkat desa lainnya menginginkan menjadi PNS.
Harapannya tidak lain dan tidak bukan adalah jaminan kesejahteraan bagi
perangkat desa. Berbagai keributan yang terjadi di desa, Sudir
menyimpulkan karena ulah imaginasi para aktor atau pihak-pihak diluar
desa.
Ada
beberapa kapasitas desa yang hilang selama 32 tahun pada masa Orde baru
dan 10 tahun paska reformasi. Pertama, rakyat desa kehilangan kapasitas
politiknya. Ketika selama 32 tahun lebih segala organisasi yang ada di
desa baik pemuda, organisasi tani, bahkan organsiasi ibu-ibu adalah
bentukan negara, yang segala aktivitas organisasi wajib dilaporkan
kepada negara. Kedua, aparatur Desa (pemerintah desa) kehilangan
kemampuannya di dalam menyelenggarakan pembangunan di desanya sendiri.
Semua pembangunan infrastruktur diselenggarakan oleh pemerintah, dulu
ketika Orba tentu dengan bantuan ABRI, kini pembangunan infrastruktur
diserahkan kepada pelaksana proyek yang memenangkan tender pembangunan
infrastruktur. Ketiga, desa (pemerintah desa) kehilangan kemampuannya
mengurus tata produksi desa. dicontohkanya, bila dulu di setiap
perdesaan Jawa, ulu-ulu memegang peranan besar mengatur pengairan bagi
pertanian warga, kini tidak lagi. Kalau dulu di hampir setiap desa
terdapat lumbung desa yang berfungsi menjaga stabilitas harga produk
pertanian dan sebagai cadangan kebutuhan desa, kenyataannya sudah sangat
lama lumbung desa menghilang, harga produk tak dapat dikontrol dan
terus-menerus jatuh apabila mudim panen, desa-desa kelaparan selama
musim-musim buruk yang menyebabkan gagal panen.
Jawaban
terhadap problem mendasar yang dihadapi desa, menurut Sudir tidak lain
adalah mendorong UU Desa yang tidak hanya mengatur desa secara homogeny
yang cenderung mengeneralisir persoalan dan potensi desa yang ada, tapi
meniadakan pluralitas didalamnya. Sudir mengakui, untuk mendorong lahir
UU Desa, Parade Nusantara tidak bisa sendiri. Selama Sembilan tahun
parade Nusantara menjelma sebagai parlemen jalanan bak banteng terluka.
Diakhir presentasinya, Sudir mengatakan bahwa tindakan atau aksi
parlemen jalanan yang diperankan Parade Nusantara bukan sekedar
mobilisasi masa, melainkan masa aksi sadar yang bertindak dan berbuat
dengan kesadaran partisipasi membangun bangsa.
Seperti
menanggapi lontaran kritis Sudir Santoso terhadap berbagai produk hukum
yang mengatur desa, Sutoro Eko Yunanto mempresentasikan beberapa
substansi yang berkaitan dengan RUU Desa pengganti UU No. 32 Tahun 2004.
Pertama, definisi dan kedudukan desa. Dalam RUU Desa yang hingga saat
ini belum juga dibahas, kedudukan desa bersifat hybrid yang berarti
mengandung self governing community, local state government dan local
self government. Kedudukan seperti ini menempatkan desa dalam subsistem
kabupaten atau kota dimana pemerintah kabupaten/kota menerima untuk
mengatur dan mengurus desa. Kedua, kewenangan desa. RUU Desa mengatur
soal kewenangan yang sudah ada berdasar hak asal usul desa, kewenangan
lokal berskala desa yang diakui kabupaten/kota, kewenangan
kabupaten/lota yang dilimpahkan pengaturan dan pelaksanaanya kepada
desa, serta kewenangan lainya yang oleh pertaturan perundang-undangan
diserahkan kepada desa. Ketiga, masa jabatan kepala desa. Masa jabatan
kepala desa dalam RUU desa sekarang ini diperpanjang menjadi 8 tahun
dari sebelumnya yang hanya 6 tahun dan masih dapat dipilih kembali satu
kali masa jabatan berikutnya. Demikian pula untuk masa jabatan BPD juga
mengikuti masa jabatan kepala desa yang dipilih dari wakil penduduk
berdasarkan keterwakilan wilayah bersangkutan. RUU Desa melarang kepala
desa merangkap jabatan sebagai ketua/anggota BPD, lembaga kemasyarakatan
di desa atau anggota DPRD serta jabatan lain yang melanggar aturan
perundang-undangan. Dan yang terakhir kepala desa tidak boleh menjadi
pengurus partai politik atau partai politik lokal. Keempat, kedudukan
keuangan. Kepala desa dan perangkat desa dijanjikan akan menerima
penghasilan tetap yang bersumber pada APBD dan tunjangan penghasilan
lain yang bersumber APBDes.
Point
penting yang diatur dalam RUU Desa berikutnya yaitu soal pembangunan
perdesaan. Secara definisi, pembanguan perdesaan adalah perpaduan
pembangunan antardesa dalam satu kawasan yang mencakup pembangunan
sumber daya manusia, sumber daya alam dan infrastruktur yang bertujuan
mempercepat pembangunan desa, kesejahteraan masyarakat, pengembangan
kapasitas sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam dan
pembangunan infrastruktur desa. Untuk mewujudkan tujuan pembangunan
perdesaan tersebut, RUU Desa mengatur pula agar pemerintah menetapkan
pedoman dan petunjuk teknis pembangunan kawasan perdesaan. Demikian pula
dengan gubernur harus melakukan pembinaan dan sosialisasi kepada
kabupaten/kota di wilayahnya dalam rangka pembangunan perdesaan.
Sementara untuk walikota/bupati melakukan pendataan dan identifikasi
terhadap desa-desa yang dapat ditetapkan sebagai suatu kawasan
pembangunan perdesaan. Yang tak kalah penting lainya adalah soal
pengaturan keuangan desa. Sumber keuangan desa menurut RUU Desa terdiri
dari; a) pendapatan asli Desa terdiri dari hasil usaha Desa, hasil
kekayaan Desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan
lain-lain pendapatan asli Desa yang sah, b) pendapatan Desa yang berasal
dari urusan lokal Desa; c) bagi hasil pajak dan retribusi daerah
kabupaten/kota diberikan untuk Desa sekurang-kurangnya 10 % (sepuluh per
seratus); d) bagian dari dana perimbangan keuangan yang diterima oleh
Kabupaten/kota sekurang-kurangnya 10% (sepuluh per seratus) untuk Desa
dan disebut Alokasi Dana Desa; e) alokasi anggaran untuk Desa
sekurang-kurangnya 5% (lima per seratus) dari total APBN dalam rangka
pembangunan Desa dan kawasan perdesaan; f) bantuan keuangan dari
Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/kota dalam rangka
pelimpahan dan percepatan penyelenggaraan pembangunan perdesaan; g)
hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Masih pada
bagian yang sama, pemerintah berkewajiban menyerahkan bagi hasil pajak
dan retribusi serta ADD kepada desa. Jika tidak dijalankan, pemerintah
wajib mengembalikan dana yang dimaksud kepada kas desa sesuai dengan
perundang-undangan berlaku.
Berbeda
dengan Sutoro, Arie Sujito sosiolog UGM sekaligus Direktur IRE
menyoroti peran masyarakat sipil dalam upaya penguatan kapasitas dan
kedaulatan desa. Pemberdayaan masyarakat desa paska reformasi ditandai
dengan lahirnya UU 22/1999 dan UU 32/2004. Salah satu kemajuan yang
telah dicapai regulasi tersebut yaitu penguatan institusi desa,
perombakan tata pemerintahan desa, ADD, tumbuhnya lembaga ekonomi rakyat
dalam perencanaan pembangunan dan kebangkitan pendidikan politik desa.
Akan tetapi kemajuan ini, menurut bung Arie demikian biasa dipanggil,
kemajuan-kemajuan tersebut masih tersandera. Kedaulatan desa masih
dihegemoni oleh pihak supra desa, perencanaan pembangunan desa hanya
sekedar pelengkap adiministrasi desa, kemiskinan dan kesenjangan sosial
masih banyak, ekonomi desa semakin terancam oleh kebijakan dan lembaga
ekonomi berhaluan neoliberal. Selain itu, juga tersandera oleh birokrasi
daerah yang bebal, sehingga menghambat ruang negosiasi desa atas
kebijakan lokal. “Akhirnya, demokrasi desa juga terganggu oleh ulah
politisi pemerintahan dan watak transaksional mereka”, tambahnya.
Abad
liberal saat ini menurut Arie Sujito, belum memberikan hasil konkrit
meskipun telah membuka ruang politik. Untuk itu, dengan nada berapi-api,
Arie yang dulu pernah menjadi oratur ulung saat aktif dalam gerakan
mahasiswa, memprovokasi peserta untuk bersuara lantang membela desa,
memanfaatkan momentum pembahasan RUU Desa. Beberapa titik bidikan yang
perlu diperjuangkan menurut Sujito yaitu memperjelas kedudukan dan
kewenangan desa dengan orientasi demokrasi lokal dan kesejahteraan
rakyat, menghargai keragaman (pluralism) desa dengan mendisain tata
pemerintahan desa yang kontekstual dengan kebutuhan lokalitas,
mereformasi perencanaan dan penganggaran desa dengan arah kemandirian,
alokasi budget dan kelola sumber daya alam, ekonomi dan keuangan yang
adil menuju kesejahteraan, memperkuat demokrasi lokal, melembagakan
partisipasi warga, control atas jalanya pemerintahan, transparansi
birokrasi serta akuntabilitas kekuasaan. Yang terakhir RUU Desa harus
menuju pembangunan berkelanjutan dengan sendi-sendi demokrasi yang
bermakna buat warga.
Agar
perjuangan kita mendorong lahirnya UU Desa yang paripurna, kita
menyatukan energy antarpihak. “Namun sayangnya, energy kita saat ini
fragmented”, imbuh Arie. Untuk itu Arie menyodorkan ide, gerakan Parade
Nusantara juga harus ditopang oleh Perguruan Tinggi, LSM, Ormas, bahkan
Partai Politik. Pada saat era UU 22/99, kita sudah pernah melakukan
koalisi besar, tapi rapuh karena gagal menjebol tembok teknokratisme
pemerintah. STPMD, UGM, punya kepedulian untuk itu. LSM juga ormas
memiliki kekuatan dan kepedualian, tegasnya. Partai Politik masih
sedikit yang memperhatikan nasib desa. Untuk itu komitmen bung Budiman
yang sejak awal pencalonanya dulu sebagai anggota DPR RI telah
berkomitmen hendak memperjuangkan kesejahteraan desa perlu kita dukung,
ajak Arie Sujito. Apa gunanya, kalau kita memiliki wakil rakyat tapi
saat berkomitmen tidak kita tagih janji politiknya. Struktur kesempatan
seperti saat ini dimana Budiman berada dalam sistem, sebagai salah satu
komisi yang membidani RUU Desa, harus kita manfaatkan untuk melahirkan
UU Desa yang berpihak pada desa, tutup Arie mengakhiri presentasinya.
Budiman
Sujatmiko, anggota komisi II DPR RI yang juga mantan aktivis mahasiswa
era 98, mengawali pembicaraanya mengapresiasi semiloka nasional.
Pasalnya, menurutnya kondisi yang energik untuk membahas RUU Desa boleh
jadi malah tidak ditemukan di gedung parlemen. Tidak hanya di kalangan
eksekutif saja pertentangan tentang substansi RUU Desa muncul, di
kalangan partai pun masih ada yang enggan membahas RUU Desa, imbuh pria
yang identik dengan kacamatanya. Karenanya, bagi Budiman kehadiran
ratusan peserta dari berbagai kalangan seperti kades dan perangkat desa,
akademisi, aktivis NGO lokal dan internasional serta kalangan birokrasi
pemerintah kabupaten se-Indonesia tersebut, memberikan suntikan energy
tersendiri baginya untuk memperjuangkan RUU Desa yang pro terhadap nasib
dan kesejahteraan desa. Dalam strategi politik, tugas konstituen adalah
melakukan perdebatan wacana RUU Desa secara benar, lalu, tugasnya
sebagai anggota parlemen kemudian adalah memperjuangkanya dari dalam
parlemen. Menurutnya, sebagai policy makers adalah mengetahui logika
lawan secara jitu lebih penting, dari pada berdebat secara kencang soal
substansi. Budiman mengilustrasikan pengalamanya mengawal UU Penanaman
Modal. Kalangan yang pro aktiv melakukan lobi-lobi politik kuat, yang
akhirnya mengalahkan suara kelompok yang anti UU Penanaman Modal.
Contoh lain, juga terlihat betapa politisi malah lebih senang
menggelindingkan isu RUU Kesitimewaan Yogyakarta daripada RUU Desa.
“Disinilah menurut Budiman kerjasama antar pihak yang pro UU Desa
menjalankan taktik dan strategi yang cukup cantik sebagaimana dikatakan
bung Jito tadi”, tandas Budiman.
Hujan
pertanyaan dan sanggahanpun ramai saat moderator membuka termin
pertanyaan. Kritik tajam datang dari Yando Zakaria. “saya ingin
sampaikan kepada Budiman” Yando mengawali kritiknya. “kalaulah RUU Desa
sebagaimana dipaparkan Sutoro Eko diperjuangkan, kita tidak lebih buruk
dari keledai. Keledai tidak mau terjerumus ke dalam lobang yang sama”,
tanda Yando. Belajar pada era orde baru yang memberlakukan UU No. 5
Tahun 1979, pemerintah telah melakukan penyeragaman. Menurut Yando, ada
tiga elemen penting yang harus diakomodir dalam UU Desa yaitu pengakuan
kedaulatan desa, pemerintahan dan basis material desa. “Kalau mau
mereform UU, harus mengakui sistem politik, ekonomi, dan budaya”
tegasnya. Nada yang cukup sependapat dengan Yando muncul dari peserta
yang berasal dari BPMPD Kutai Timur, Muhamad Hidayat. “Di Kutai Timur
ada desa yang terbentuk dengan sendirinya ada pula yang dibentuk,
karenanya UU Desa kelak tidak boleh menyamakannya”, kata pria berjas
ini. Tapi di sisi lain, Hidayat juga pesimis dengan kemampuan pemerintah
desa apabila diberikan kewenangan untuk mengelola uang milyaran rupiah,
karena menurutnya kapasitas pemerintah desa, khususnya di Kutai Timur
masih rendah. Joko Daryono, salah satu kepala desa dari Klaten, tidak
setuju dengan rumusan dalam RUU Desa yang melarang kepala desa merangkap
jabatan sebagai anggota partai politik. “mengapa pejabat setingkat desa
tidak diperbolehkan, tapi pejabat-pejabat di kabupaten, propinsi maupun
pusat bebas merangkap jabatan sebagai ketua partai. Ini tidak adil dan
tidak demokratis”, keluhnya.
Usai
istirahat siang, agendapun dilanjutkan dengan agenda serap aspirasi
dan curah pendapat. Sesi yang dipandu Bambang Hudayana dan Fajar
Sudarwo, bertujuan menghimpun masukan, ide, gagasan sebagai in put UU
Desa yang akan dimandatkan kepada Budiman Sujatmiko untuk diperjuangkan
di parlemen. Di akhir sesi diperoleh dua kesepahaman besar untuk
memperjuangkan UU Desa, yakni substansi dan strategi. Pertama, UU Desa
harus diletakan dalam konteks reformasi. Perubahan politik sudah
terjadi, tapi dampaknya terhadap kesejahteraan desa belum nampak
membaik. Kedua, kita perlu melihat desa sebagai satu kesatuan dengan
sumber daya, karenanya UU Desa secar benar harus mengatur soal
distribusi asset bagi desa seperti tambang, air dan hutan. Selanjutnya
otonomi asimetris dianggap sebagai cara yang cocok untuk mengatur
Indonesia, karena Indonesia bersifat plural, ada desa adat, desa desa
pesisir, desa pegunungan dan lain-lain, papar AAGN yang didaulat sebagai
pelipat sesi serap aspirasi dan curah gagasan sebelumnya. Diakhir
acara, draft rekomendasi dari pesertapun dimandatkan kepada Budiman yang
diserahkan oleh direktur IRE. Dan Budimanpun berjanji akan
memperjuangkanya.
_______________________________________________________________________________
Sumber: www.ireyogya.org